You may have to register before you can download all our books and magazines, click the sign up button below to create a free account.
This proceeding contains selected papers of The International Seminar On Recent Language, Literature, And Local Culture Studies “Kajian Mutakhir Bahasa, Sastra, Dan Budaya Daerah (BASA)” held on 20-21 September 2019 in Solo, Indonesia. The conference which was organized by Sastra Daerah, Faculty of Cultural Sciences Universitas Sebelas Maret and Culture Studies Postgraduate Program of Universitas Sebelas Maret. The conference accommodates topics for linguistics in general including issues in language, literature, local cultural studies, philology, folklore, oral literature, history, art, education, etc. Selecting and reviewing process for the The International Seminar On Recent Language,...
By offering perspectives from Indonesian female workers, this book discusses the contemporary progress of working-class feminism from the Global South. It presents a critical reading of the socio-political conditions that allow female workers to narrate their lives and work as precariat labor toiling under the forces of globalization. Its analysis centers on their writings which appear in the form of legal documents, personal accounts, essays, and short stories. Thus, the book shows how these women change their situation by challenging the political order and demanding gender justice with their fearless speech.
"Rendi Suhandinata, kepala biro di sebuah instansi pemerintah, mati terbunuh secara misterius. Satu-satunya petunjuk yang ditemukan hanyalah jejak berdarah sepatu wanita yang menjurus ke sebuah lemari. Di dalam lemari tersebut terlihatlah manekin atau boneka pop yang diam membeku. Bibir sensual manekin itu juga dibercaki darah yang DNA-nya sama dengan DNA korban. Hal aneh lainnya, ahli forensik juga menemukan bukti bahwa manekin tersebut telah direkayasa sedemikian rupa agar mampu bereaksi sesuai keinginan penciptanya, khususnya untuk bermain cinta di tempat tidur. Namun sebelum penelitian lebih lanjut sempat dilakukan, sang manekin mendadak lenyap. Bursok, polisi berdedikasi tinggi yang terkenal dengan penciuman serta mata elangnya yang tajam dan terkadang berbau supranatural, kemudian dihadapkan pada pembunuhan berantai yang luar biasa brutal. Ia yakin pembunuhan pembunuhan tersebut tidak hanya melibatkan sang manekin. Tetapi juga melibatkan Rinda, saudara kembar Rendi yang sosok, penampilan, maupun raut wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan sang manekin."
We are playing relatives offers a comprehensive survey of literary writing in the Malay language. It starts with the playful evocations of language and reality in the Hikayat Hang Tuah, a work that circulated on the Malay Peninsula in the eighteenth century, and follows the Malay literary impulse up to the beginning of the twenty-first century, a time when the dominant notions of Malay literature seem to fade away in the cyberspace created on the island of Java, and the Hikayat Hang Tuah's play and dance on the sounds of Malay words seem to be infused with a new vitality. We are playing relatives covers a highly heterogeneous group of texts published over a long period of time in many places in Southeast Asia. The book is organized around a discussion of related texts that are crucial in the rise of the notion of 'Malay literature'.
This ready reference is a comprehensive guide to pop culture in Asia and Oceania, including topics such as top Korean singers, Thailand's sports heroes, and Japanese fashion. This entertaining introduction to Asian pop culture covers the global superstars, music idols, blockbuster films, and current trends—from the eclectic to the underground—of East Asia and South Asia, including China, Japan, Korea, India, the Philippines, Thailand, Vietnam, and Pakistan, as well as Oceania. The rich content features an exploration of the politics and personalities of Bollywood, a look at how baseball became a huge phenomenon in Taiwan and Japan, the ways in which censorship affects social media use in...
Buku ini adalah bunga rampai tulisan-tulisan tematis saya yang menelaah beragam spektrum kebudayaan dalam arti luas. Ada beragam tanggapan yang saya terima. Beberapa di antaranya menyambut hangat, menyarankan agar dibukukan, dan meminta saya menulis lebih banyak lagi. Ada juga yang menanggapinya dengan curiga. Setelah saya menerbitkan rangkaian tulisan dengan judul utama “Dalam Bayangan Bendera Merah” yang membahas kaitan sastra dan politik serta pelarangan buku kiri, seorang redaktur Pikiran Rakyat yang meloloskan tulisan saya itu mengirim pesan kepada saya agar “berhati-hati”. Tulisan-tulisan dalam buku ini dibagi dalam empat bagian menurut kecenderungan tema masing-masing. Bagian ...
Salimah, penyanyi dangdut yang bikin penasaran, hidup di kampung tempat goyang dangdut diterima, dihidupkan, sekaligus dihujat banyak orang. Tak peduli ia gadis atau janda, setiap lelaki bersumpah rela bertekuk lutut di bawah lekuk pinggulnya. Solihin, pemuda perlente yang kemudian menjadi lurah, tak menyerah sekalipun lamarannya ditolak. Sebelum mendapatkan perempuan yang jadi rebutan, sampai matipun akan ia perjuangkan. Tapi Salimah hanya menginginkan mata Haji Ahmad, guru mengajinya dulu. Mata yang terbuka lebar seperti saat memandangi Salimah membaca surat An-Nur, seperti ketika menamai perempuan itu sumber dosa. Mata yang marah dan memaksanya turun dari panggung. Mata yang ingin ia deka...